Jakarta,Sumutglobalnews.com
Pengurus Besar Kesatuan Mahasiswa Tarbiyah Islamiyah (PB KMTI) meminta aparat kepolisian dan TNI menghentikan tindakan represif dan kekerasan kepada masyarakat Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau (Kepri). Desakan tersebut hubungi di Jakarta pada, Sabtu (16/9/2023).
Pemerintah tidak perlu melakukan mobilisasi aparat secara berlebihan terhadap masyarakat sekitar, untuk kelancaran Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City, sebab polemik relokasi tersebut menyangkut sengketa agraria, bukan kriminalitas ungkap, ” Muhammad Hidayatullah sebagai ketua umum KMTI.
Adanya penolakan menandakan belum tuntasnya proses dialog dan konsultasi, sehingga pemerintah perlu membuka kembali ruang dialog untuk mencari akar permasalahan dan solusinya.
“Yang terjadi saat ini itu, satu pihak mempertahankan hak, satu pihak melaksanakan kewajiban. Mereka adu otot, sedangkan para pemain catur joget di belakang,” ujarnya.
Pemerintah tidak boleh menerapkan sistem Otoriter Represif yaitu sistem yang menghadapkan secara paksa aparatur negara termasuk aparat penegak hukum dan aparatur sipil negara dengan rakyat.
Tercatat permukiman dan warga Rempang telah ada sejak 1834. Berdasarkan pasal 18 B UUD 1945, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Pemerintah harus menghormati hak Tanah Ulayat. Jangan setelah berkuasa hak ulayat yang ada jauh sebelum Indonesia merdeka ini diabaikan dan aparat teriak-teriak provokator bagi rakyat yang mempertahankan hak ulayatnya,” sebut Dayat.
Pemerintah tidak boleh menutup mata pada kepentingan publik, termasuk sejarah sosial budaya masyarakat setempat yang telah lama dan hidup di pulau tersebut. Apalagi mengingat payung hukum proyek ini baru disahkan pada 28 Agustus 2023 melalui Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023.
Menurutnya, pemerintah perlu menerapkan jeda kemanusiaan, mengingat semakin meluasnya eskalasi penolakan publik dan tingginya tensi kekerasan di lapangan. Pemerintah selaku pemangku kewajiban harus memeriksa kembali dan memenuhi kewajiban-kewajiban HAM yang selama ini diabaikan dalam proses pembangunan Rempang Eco-City.
“Institusi Polri juga perlu meninjau ulang SOP-nya dalam melakukan tindakan pengamanan kepada masyarakat agar sesuai dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab serta nilai keadilan dan demokrasi”, imbuh Dia.
Pemerintah harus segera melakukan pemulihan kepada masyarakat yang mengalami kekerasan dan trauma. Terlebih perempuan dan anak-anak yang memerlukan pemulihan khusus serta menghentikan segala bentuk represi dan intimidasi oleh aparat dan membebaskan warga yang ditahan.
Hari ini terjadi pada orang Melayu yang ada di Rempang Batam, sebelumnya sudah terjadi juga di Air Bangis Sumbar, Wadas Jateng dan banyak tempat di Indonesia. Besok-besok hal yang sama bisa terjadi juga di kampung kita, rumah kita.
“Sebab itu perlu ada evaluasi menyeluruh guna memenuhi paradigma pembangunan nasional yang menjunjung tinggi kemanusiaan, pemerataan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujar Ketua Departemen Pemuda dan Olahraga Pimpinan Pusat Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PP PERTI) itu.
Hal senada juga disampaikan Ketua Bidang Dakwah, Sosial dan Ekonomi Kreatif PB KMTI Rozal Nawafil. Ia menilai kasus PSN di beberapa wilayah di tanah air merupakan peristiwa empirik yang menunjukkan pengabaian partisipasi masyarakat, pengabaian suara rakyat dalam pembangunan.
Saat ini kita diperlihatkan bagaimana pimpinan-pimpinan negeri dalam berbagai kesempatan seringkali menyampaikan “Negara Tidak Boleh Kalah”. Pertanyaan saya siapakah yang dimaksud negara tersebut? Bukankah negara itu sama dengan praja yang berarti masyarakat, rakyat, daerah.
Seharusnya pemerintah menempatkan dirinya sebagai pamong praja atau pelayan masyarakat dan bukan pangreh praja atau penguasa/pengatur masyarakat. Aparat juga harusnya menunjukkan bahwa mereka hadir secara profesional dan humanis sebagai pengayom dan penjaga keamanan masyarakat.
Bukan justru menciptakan desakan dan intimidasi terhadap warga yang kontra terhadap kebijakan mereka dengan dalih kepentingan rakyat dan pertumbuhan ekonomi. Padahal sejatinya keselamatan masyarakat merupakan hukum tertinggi yang harus dihormati sebagaimana yang diatur dalam asas hukum “salus populi suprema lex esto”.
“Pemerintah memiliki peran krusial untuk menghadirkan langkah-langkah antisipatif, solutif, dan berdampak positif bagi semua pihak,” ujar Rozal.
Sebagaimana diketahui, aparat gabungan dari TNI AL, Polri, dan Ditpam Badan Pengusahaan (BP) Batam bentrok dengan warga Pulau Rempang pada Kamis (7/9/2023). Bentrokan terjadi karena warga menolak pengembangan kawasan ekonomi Rempang Eco City di lokasi tersebut.
Petugas gabungan mendatangi lokasi pukul 10.00 WIB, sementara ratusan warga memblokir jalan mulai dari Jembatan 4. Warga menolak masuknya tim gabungan yang hendak mengukur lahan dan memasang patok di Pulau Rempang.
Pemblokiran kemudian dilakukan dengan membakar sejumlah ban dan merobohkan pohon di akses jalan masuk menuju kawasan Rempang. Aparat kemudian menembakkan gas air mata ke arah massa. Anak-anak di sekolah ikut terkena dampaknya hingga dilarikan ke rumah sakit.
Berselang lima hari kemudian, kericuhan kembali terjadi di kantor BP Batam. Sebanyak 43 orang ditahan dan 34 orang diantaranya ditetapkan sebagai tersangka. Kericuhan terjadi lantaran warga menolak adanya PSN Rempang Eco City yang mengharuskan relokasi penduduk.
Selain itu, proyek tersebut juga mengancam eksistensi 16 kampung adat Melayu yang ada sejak tahun 1834 di Pulau Rempang yang saat ini masuk dalam wilayah Kota Batam.
Presiden Jokowi sendiri telah memerintahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo turun tangan. Dia menilai bentrokan di Rempang terjadi karena kesalahpahaman. “Masa urusan begitu harus sampai presiden,” kata Jokowi.
Sementara itu, Ketua Majelis Ifta’ PERTI Riau, Prof Abdul Somad ikut menyerukan agar para pengacara terbang ke Rempang untuk membantu masyarakat. Dia menilai warga yang ditangkap polisi adalah mereka yang ingin mempertahankan tempat tinggal dan sumber penghidupannya.
“Mereka bukan pengedar narkoba, koruptor, mereka adalah orang yang membela tanahnya, rumahnya, macam mana kalau rumah kita, (untuk) cari makan, dirampas,” kata Abdul Somad yang juga sebagai wakil ketua Majelis Ifta’ Riau.
Jurnalis : RIZKI AHMAD RIFANDI